Selasa, 14 April 2020

Tugas Hukum Islam - Ayu Dina Lestari

2B/5119500174
Drs. Muslich, S.H






1. Apa saja tujuan Hukum Islam?

jawab :
  • Menurut Abu Ishaq Al-Shatibi : Menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
  • Dilihat dari dua segi : Pembuat hukum (Allah dan RasulNya).
2. Apa yang dimaksud dengan Saeculum?

jawab :
  • Secara bahasa, sekuler berasal dari bahasa Latin, saeculum yang bermakna ganda, yakni 'ruang' dan 'waktu'. Istilah ruang merujuk pada pengertian dunia atau duniawi, sedangkan waktu mengandung pengertian sekarang atau kini. Kata secular akhirnya berkembang menjadi sebuah istilah yang bermakna atau bersifat duniawi atau kebendaan.
3.  Apa itu I'tiqadiyah?

jawab :
Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”. (Hadits ini dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.ht
  • I’tiqadiyah artinya sebuah keyakinan bahwa  apa yang dilakukan merupakan perintah dan persetujuan Tuhan, apakah perintah tersebut secara langsung kepada perbuatan yang akan dilakukan atau juga persetujuan yang dimaksudkan berupa informasi umum yang tidak secara langsung berhubungan dengan bentuk perbuatan yang dimaksud.  Perintah tegas dan langsung dengan wujud perbuatan yang jelas serta tidak mempunyai alternative dalam pelaksanaannya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
4.  Apa contoh dari Hadits Dha'if ?

jawab :
  • Salah satu contoh dari hadits tersebut ialah keutamaan dari surat yasin, sehingga orang orang membolehkan adanya yasinan,  hadits tersebut adalah "Bacakanlah surat yasin untuk orang mati diantara kalian" (Hadits ini dho'if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa'i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal.
5. Apa saja syarat - syarat Hadits bisa dikatakan Shahih?

jawab :
  • Perawinya bersifat adil
  • Perawinya bersifat dhabit maksudnya perawi yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkannya.
  • Sanadnya bersambung
  • Tidak ber-illat maksudnya membuat cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat dalam hadits tersebut.
a. Rawinya bersifat adil
Menurut Ar-Rasi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk salalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yangberlebihan.
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah: Beragama Islam, Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf), Melaksanakan ketentuan agama, Memelihara muru’ah.
b. Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya (teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqat.
c. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimahnya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja yang penelitian berikut:
  1. Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti.
  2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
  3. Meneliti kata-kaa yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
  1. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan dhatbit).
  2. Antara masing-masing rawi den gan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
d. Tidak ber-illat
membuat cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan  adanya cacat tersebut
f. Tidak syadz (janggal)
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanad muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.


Sumber: https://www.tongkronganislami.net/hadis-shahih-pengertian-klasifikasi-macamnya-beserta-contohnya/
  • Tidak syadz (janggal).



DAFTAR PUSTAKA :

 https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/01/05/p22twv313-sekularisme-di-dunia-islam
 http://www.lintasgayo.com/11880/berbuat-dengan-keyakinan.html
 http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/12/ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat-materi.html
 https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.html
 https://www.tongkronganislami.net/hadis-shahih-pengertian-klasifikasi-macamnya-beserta-contohnya/

a. Rawinya bersifat adil
Menurut Ar-Rasi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk salalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yangberlebihan.
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah: Beragama Islam, Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf), Melaksanakan ketentuan agama, Memelihara muru’ah.
b. Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya (teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqat.
c. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimahnya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja yang penelitian berikut:
  1. Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti.
  2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
  3. Meneliti kata-kaa yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
  1. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan dhatbit).
  2. Antara masing-masing rawi den gan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
d. Tidak ber-illat
membuat cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan  adanya cacat tersebut
f. Tidak syadz (janggal)
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanad muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.


Sumber: https://www.tongkronganislami.net/hadis-shahih-pengertian-klasifikasi-macamnya-beserta-contohnya/
Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”. (Hadits ini dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/942-hadits-dhoif-bolehkah-dijadikan-sandaran-hukum.html
Jenis-Jenis Mutasyabih. 1. Mutasyabih dari segi Lafadz a. Yang dikembalikan kepada lafadz yang tunggal yang sulit pemaknaannya b. Lafadz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga macam : 1. Mutasyabih karena ringkasan kalimat, 2. Mutasyabih karena luasnya kalimat, 3. Mutasyabih karena susunan kalimat. 2. Mutasyabih dari segi maknanya. Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya.semua sifat yang demikian tidak dapat di gambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dipahami oleh siapapun. 3. Mutasyabih dari segi lafadz dan makna. Mutasyabih dalam segi ini menurut As-suyuthi, ada lima macam. 1. Mutasyabih dari segi kadarnya seperti lafaz umum dan khusus. 2. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah. 3. Mutasyabih dari segi waktu. 4. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana ayati itu diturunkan. 5. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan, misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak.

Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2016/10/pengertian-ayat-muhkamah-dan.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Jenis-Jenis Mutasyabih. 1. Mutasyabih dari segi Lafadz a. Yang dikembalikan kepada lafadz yang tunggal yang sulit pemaknaannya b. Lafadz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga macam : 1. Mutasyabih karena ringkasan kalimat, 2. Mutasyabih karena luasnya kalimat, 3. Mutasyabih karena susunan kalimat. 2. Mutasyabih dari segi maknanya. Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya.semua sifat yang demikian tidak dapat di gambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dipahami oleh siapapun. 3. Mutasyabih dari segi lafadz dan makna. Mutasyabih dalam segi ini menurut As-suyuthi, ada lima macam. 1. Mutasyabih dari segi kadarnya seperti lafaz umum dan khusus. 2. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah. 3. Mutasyabih dari segi waktu. 4. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana ayati itu diturunkan. 5. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan, misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak.

Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2016/10/pengertian-ayat-muhkamah-dan.html
Terima kasih sudah berkunjung.

Tugas Hukum Islam - Ayu Dina Lestari

2B/5119500174 Drs. Muslich, S.H 1. Apa saja tujuan Hukum Islam? jawab : Menurut Abu Ishaq Al-Shatibi : Menjaga agama, jiwa, ak...